Rabu, 02 Juli 2008

Daya Gerak Reformasi,


Oleh Aminuddin Siregar
Murtadha Muthahhari, adalah pemikir sistematis. Ia tergolong ahli filsafat sejarah Islam terkemuka. Sehingga tidaklah mengherankan, kalu beliau berusaha menerapkan hampir seluruh pemikirannya tentang kenyataan sosial-politik kontemporer di dasarkan pada filsafat sejarah Islam. Termasuk pemikirannya tenatang gerakan-gerakan reformasi sosial yang terus berkembang di kalangan umat. Tapi, Ia keburu syahid, oleh berondongan timah panas, pada tanggal 2 Mei 1979. Iran berkabung, Ayatullah Khomeini, ketika itu menyatakan, 3 Mei 1979 adalah Hari Berkabung Nasional Iran.

Sebagai mana Al-Ghazali –yang lebih dikenal sebagai Imam Ghazali— melakukan gerakan-gerakan reformasi Islam. Selain mengandung muatan sosial poltik juga mengandung unsur sosial-intelektual. Ini antara lain dapat kita ketahui lewat kayra monumentalnya yang berjudul “Ihya Ulumuddin” (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), ternyata sangat progresif sifatnya.

Gerakan semacam inilah kemduian yang oleh Muthahhari disebut gerakan merefleksikan reaksi terhadap penjajahan politik, ekonomi dan kultur Barat. Bagi Muthahhari, seorang Muslim mestilah sebagai reformator. Karena perannya sebagai reformator, maka ia adalah seorang penyokong perbaikan. Maksudnya, agar reformasi tidak terlihat jemu, tetapi penuh gairah.

Muthahhari, --dalam bukunya “Gerakan Islam Abad-20”-- mengemukakan bahwa, reformasi berarti memberikan tata aturan atau tata tertib, yang dapat mengarahkan masyarakat ke arah tujuan tertentu. Dari pendapat itu nampak bahwa, tujuan paling sederhana dari reformasi ialah memperbaiki segala sesuatu yang telah rusak, semua yang tidak beraturan, dan karena itu perlu diarahkan kembali agar menjadi lebih teratur dan tertib.

Kalau dalam konteks reformasi yang kini tengah bergulir di Indonesia misalnya. Menjadi sangat relevan untuk dicermati, lantaran sejak kita sepakat melakukan reformasi, sejak itu pula kita telah membuat sejumlah aturan dan berbagai tata tertib dalam berbagai bidang kehidupan. Khususnya dalam bidag politik, memang telah sangat nyata sekali adanya perbaikan. Namun di sektor lain masih terlihat bahwa reformasi, mirip sebuah angan-angan belaka.

Masalhanya, apa yang mesti kita lakukan untuk melawan kecenderungan otoritarianisme, apabila reformasi yang kini tengah kita bangun ditafsirkan sebagai angan-angan yang amat sukar untuk diwujudkan ? Sementara, waktu terus bergulir. Perkembangan politik terus bergerak menuju terbentuknya masyarakat politik yang kian dewasa, cerdas, tanggap dan amat kritis terhadap gerak-gerik elit politik dan aparat yang beberapa waktu lalu, oleh Hasyim Muzadi, diindikasikan mengobral kecemasan, (Rakyat Merdeka, 16-11-03).

Model Otoritarianisme

Hingga hari-hari belakangan ini, kita masih menjumpai model-model otoritarian dalam mengatasi persoalan yang muncul kepermukaan. Arti kata, masih saja terkesan adanya kesewenang-wenangan. Padahal yang dikehendaki oleh reformasi ialah perwujudan dari perbaikan yang telah kita lakukan. Sehingga tidak lagi muncul percakapan miring, kesalahfahaman dan kekacauan, apalagi budaya kekerasan politik.

Dilihat dari perjalanan reformasi yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Harusnya kita telah keluar dari lingkaran poltik yang arogan. Bahwa perpolitikan kita tanpa fitnah dan kekerasan. Kita juga mestinya telah lebih lugas dalam berdemokrasi. Lebih santun dalam menyikapi segala sesuatu yang menyangkut aspirasi politik rakyat yang berkembang. Lebih peduli dan responsif terhadap penderitaan rakyat.

Kalau tata aturan yang dianggap kurang bagus, tata tertib yang selama ini belum memadai, maka sulit diharapkan adanya suasana tertib, suasana tenteram, atau kondisi yang lebih kondusif dari sekarang. Atau bisa saja aturannya sudah ada, tetapi tidak ditaati, sehingga menimbulkan pertengkaran, prasangka, dan curiga-mencurigai. Akibatnya tidak pernah ditemukan keseuaian satu dengan lainnya.

Dengan mengadakan reformasi kemungkinan munculnya kekacauan dan fitnah akan dapat dihindari. Sebab di dalam setiap reformasi, selalu lebih menampakkan transparansi perubahan yang terjadi, semauanya akan lebih jelas. Katakanlah misalnya, secara sosial terjadi kerusuhan politik, yang mengakibatkan massa publik tidak terkendali dan menjurus pada tujuan yang kita semua tidak mengiinginkannya. Ini bisa terjadi sebagai akibat dari kurangnya daya gerak reformasi sebagaimana dikehendaki semua pihak dan kalangan.

Kelihatannya, suatu regim politik, meskipun mengaku sebagai pemerintahan konstitusional, tidak dengan serta merta mampu menghalau otoritarianisme. Karena itu, perlu diadakan gerakan-gerakan pembaharuan. Dalam kaitan inilah menurut Muthahhari reformasi diperlukan. Dan ternyata melalui gerakan-gerakan reformasi itulah kebangkitan politik kaum Muslimin menjadi amat penting dan merupakan kebutuhan utama.

Daya Gerak Reformasi

Kalau kebangkitan politik kaum Muslimin memang dapat menciptakan sesuatau keadaan masyarakat lebih baik, maka kembali yang perlu dipikirkan oleh kaum Muslim di dunia politik ialah memperkuat daya gerak reformasi itu sendiri. Sehingga despotisme dari dalam dan imperialisme baru dari luar tidak akan menampakkan wajahnya dalam sistem pemerintahan yang demokrastis, kecuali kalau praktek-praktek budaya kekerasan politik terus dipelihara.

Sebab dengan menguatnya daya gerak reformasi, maka demokrasi akan mampu mengungkap segala hal yang dianggap tidak bermoral dan sejumlah penyimpangan. Itu artinya kebangkitan demokrasi di negeri ini dimaksudkan untuk melenyapkan pembusukan politik yang sudah sekian lamanya. Karena apa yang dianggap orang sebagai hal yang tidak pada tempatnya sudah diperbaiki.

Kerusakan-kerusakan di masa lalu direparasi tuntas, Kita tidak lagi kesulitan untuk memahami keruwetan-keruwetan politik. Setiap warga masyarakat sebagai komunitas politik mendapat kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam percaturan politik, apabila setiap orang sadar secara politik, bahwa ada sejumlah persyaratan, aturan, tata tertib, yang memungkinkan setiap orang untuk bisa menjadi caleg, misalnya, atau mendaftar jadi capres, umpamanya.

Kita mesti menemukan kembali semangat perjuangan. Sebab perjuangan politik itu menurut Muthahhari merupakan kewajiban religius. Itu sebabnya Muthahhari menganjurkan perlunya persatuan Islam untuk menghalau semua yang dibawa oleh kultur yang tidak sesuai dengan budaya dan norma politik masyarakat Indonesia. Nah ! bisakah partai-partai Islam Indonesia bersatu padu, misalnya ? Hanya aktivis parpolah yang mengetahui dan menjawabnya.

Sejalan dengan itu, bila perlu harus melakukan perlawanan terhadap setiap upaya menggerogoti persatuan dan kesatuan kita. Kekuatan yang dimiliki oleh nenek moyang kita, founding father dan para pendiri republik ini memang punya andil besar bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, mestilah dijaga citranya. Sekurang-kurangnya para elit politik atau elit partai tidak menimbulkan kesan yang mengakibatkan kemerosotan Ketahanan Nasional. Mari kita suksekan seluruh rangkaian pemilu mendatang ini. Perlu itu.

Dokumentasi Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar